OPINI: Diancam di Tanah Sendiri

 







Oleh: Kahar Algifary, Koordinator Divisi Hukum Pusat Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik Luwu Raya



Dokumen AMDAL PT Masmindo Dwi Area yang tak kunjung dibuka ke publik pasca tuntutan warga bukanlah sekadar urusan administratif. Ia adalah gejala dari sebuah bahaya yang lebih besar: ketertutupan yang berpotensi menutup-nutupi kerusakan yang sudah dan akan terjadi di tanah ini.




Dalam setiap proyek ekstraktif berskala besar, dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah semacam kontrak sosial: antara perusahaan, pemerintah, dan warga yang tanahnya akan terguncang, udaranya tercemar, dan airnya terkontaminasi. Ketika kontrak ini disembunyikan, yang terjadi bukan lagi pengelolaan lingkungan, tetapi pengkhianatan terhadap hak masyarakat untuk tahu.



Sejak alat berat dan logistik tambang mulai digerakkan, warga yang tinggal di sepanjang jalur pengangkutan menyaksikan sendiri dampak nyata: kualitas udara menurun, suara bising, rumah terancam retak karena getaran, dan jalan umum yang rusak. Namun hingga kini, publik tak tahu dan tampaknya tak diberi hak tahu, apa mitigasi yang dijanjikan perusahaan dalam dokumen AMDAL-nya.




Begitu pula dengan aktivitas pengupasan lahan dan pembangunan kilang pengolahan dan pemurnian emas. Tak ada informasi terbuka soal bagaimana PT Masmindo merespons potensi erosi, sedimentasi, gangguan terhadap air permukaan, hingga migrasi fauna yang telah disoal masyarakat dan aktivis lingkungan. AMDAL seharusnya memuat semua itu, bukan disembunyikan seperti peta harta karun.



Air Sungai Suso yang hari ini kembali berwarna keruh pekat bukan cuma peristiwa alam biasa. Ia adalah peringatan alam tentang sedimentasi brutal, ancaman banjir dan tanda bahaya bagi ribuan hektare sawah yang bergantung pada sistem irigasi dari sungai itu. Jika proyek tambang ini berlanjut ke tahap pemurnian emas dengan bahan kimia seperti sianida, sebagaimana lazimnya praktik industri—dampaknya tak lagi hanya ekologis, tetapi langsung menyentuh perut rakyat.




Tak hanya itu, Sungai Suso adalah salah satu sumber utama air baku PDAM Luwu. Ketika sungai Suso tercemar, maka bukan hanya produksi pertanian warga yang terancam, tapi juga keran-keran air di rumah warga bisa berhenti mengalirkan air layak minum. Ancaman ini menyangkut hak dasar warga atas air bersih dan hidup yang sehat: suatu hal yang tak bisa ditawar.



Literatur ilmiah menyebut sianida sebagai racun tanaman. Ia menghambat pertumbuhan, menguningkan daun, membunuh mikroorganisme tanah, dan memutus siklus dekomposisi. Artinya: sawah tak lagi subur, panen tak lagi pasti. Lebih buruk, racun ini bisa masuk ke jaringan tanaman, lalu ke piring makan kita.



Dan ketika perusahaan tetap diam, pemerintah turut diam, dan dokumen tetap tertutup rapat, masyarakat seolah diharuskan percaya pada ritual simbolik yang digelar dalam prosesi adat. Padahal apa gunanya prosesi adat jika isi AMDAL berupa substansi yang mestinya jadi perlindungan hukum bagi masyarakat Luwu justru tak pernah diungkap?



Adat bukan legitimasi kosong. Ia tak bisa dijadikan dekorasi untuk menutup-nutupi praktik yang berpotensi mencelakakan warga di tanah leluhurnya sendiri. Adat hidup untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Menyembunyikan AMDAL justru mencederai spirit itu.



Masyarakat Luwu berhak tahu apa yang sedang dan akan terjadi di tanahnya. Mereka berhak atas air yang jernih, sawah yang hidup, dan masa depan yang layak. Transparansi bukan permintaan berlebihan. Ia adalah bentuk paling dasar dari keadilan.



Luwu, 21 Juni 2025.



أحدث أقدم