Rabu, 28 Mei 2025
Editor : Putri Novasari
Jakarta,HnmIndonesia.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. MK memerintahkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah swasta.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
MK menegaskan pemerintah dan pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Hal itu berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan daya tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa bersekolah di sekolah swasta.
"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.
MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, kata Enny, frasa "tanpa memungut biaya" dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
"Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," sebut Enny.
Respons Mendikdasmen
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, merespons dengan menjelaskan makna Pasal di UU Sisdiknas dan penerapannya.
"Inti dari putusan itu memang menyatakan bahwa Pasal di UU Sisdiknas harus dimaknai punya kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar bukan hanya sekolah negeri tapi juga sekolah/madrasah swasta. Tapi satu, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah. Dua, sekolah swasta tetap dapat memungut biaya pendidikan dari masyarakat meski ada bantuan pembiayaan dari pemerintah," jelas Mendikdasmen Abdul Mu'ti ketika dikonfirmasi detikEdu via aplikasi pesan, Selasa (27/5/2025).
Keterangan yang disampaikannya, Mu'ti menambahkan atas sepemahamannya. Mu'ti mengatakan belum menerima putusan resmi dari MK.
"Itu yang saya pahami. Tapi saya belum mendapatkan putusan resminya secara lengkap dari MK," imbuh Mu'ti.
Sebagai informasi, putusan ini merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga warga negara, yakni Fathiyah dan Novianisa Rizkika yang merupakan ibu rumah tangga (IRT) serta Riris Risma Anjiningrum yang seorang pegawai negeri sipil (PNS).
(Sumber : detikcom)