Jaksa Agung Tegaskan Insan Adhyaksa Berintegritas, Profesional dan Berhati Nurani Tegakkan Hukum Berkeadilan



Minggu, 28 November 2021 | 14.25 WITA

Oleh: Tim HNM, Algwendra Dwipraja


Jakarta - Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin menegaskan integritas dan profesionalisme harus sudah menjadi standar minimum yang harus dimiliki oleh setiap insan Adhyaksa.


Hal ini disampaikan Jaksa Agung saat memberikan pengarahan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi beserta pejabat utama Kejati Sumatera Selatan, dan kepada para Kajari se Sumatera Selatan beserta jajarannya di Aula Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, pada Kamis (25/11/2021) lalu.


"Tidak bosan-bosannya menyatakan bahwa saya tidak membutuhkan Jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral, dan saya juga tidak butuh Jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para Jaksa yang pintar dan berintegritas," kata Burhanuddin, dalam keterangan tertulis yang diterima HNM Indonesia, Minggu (28/11/2021).


Menurut Jaksa Agung, integritas adalah segala tindakan yang menggambarkan kejujuran dan kewibawaan seseorang dalam menjalankan tugasnya. Integritas sendiri dapat dilihat dari mutu, sifat, dan keadaan seseorang, sehingga seseorang yang memiliki integritas sangat bisa diberi kepercayaan karena selalu bertindak transparan, konsisten, bertanggung jawab, dan objektif.


“Oleh karena itu saya tekankan kepada seluruh insan Adhyaksa bahwa integritas bukan hanya sebuah tagline semata, integritas harus dilaksanakan baik melalui ucapan, tingkah laku dan tindakan nyata, serta tingkatkan pengawasan melekat secara intensif kepada setiap anggotanya, karena apabila anggota saudara melakukan perbuatan tercela, maka akan dievaluasi hingga dua tingkat ke atas, sebagaimana telah saya sampaikan dalam Surat Jaksa Agung Nomor: R-95/A/SUJA/09/2021 tentang Peneguhan Komitmen Integritas," tegas Burhanuddin.


Dirinya mengingatkan, terkait hal ini sudah banyak pegawai yang ditindak serta dipidanakan karena telah menggadaikan integritas dan martabat institusi. Menurutnya, penindakan itu tentunya terkandung maksud untuk memberikan efek jera bagi semua, sebab Jaksa Agung tidak ingin jika sikap dan perilaku insan Adhyaksa mencoreng doktrin Tri Krama Adhyaksa.


Lebih lanjut, terkait profesionalisme, Jaksa Agung menjelaskan bahwa merupakan cermin dari kemampuan, pengetahuan, keterampilan, dapat dilakukan dengan ditunjang dengan pengalaman, selain itu profesionalisme adalah roh yang menggerakan, mendorong, mendomisasi dan membentengi seseorang dari tendensi penyimpangan serta penyalahgunaan kewenangannya baik secara internal maupun eksternal.


Pada kesempatan itu, Jaksa Agung juga menyampaikan bahwa perlu dipahami oleh para Pimpinan Satuan Kerja dan jajarannya, bahwa profesionalitas seorang Jaksa akan sempurna jika dapat menyeimbangkan antara intelektual dan integritas. Intelektual dan integritas seorang jaksa akan tercermin dari profesionalitasnya dalam melaksanakan tugas.


Dijelaskannya, profesionalitas seorang jaksa terlihat dari cara memprediksi dan membagi waktu penanganan perkara, baik itu perkara Pidum maupun perkara Pidsus. Sehingga seharusnya tidak ada alasan bagi Jaksa untuk menunda agenda sidang pembacaan tuntutan.


"Karena sejatinya tidak ada alasan penundaan sidang selain karena hal teknis, seperti tidak dapat hadirnya saksi atau ahli mengikuti persidangan. Untuk itu saya tidak mau lagi mendengar ada penundaan sidang pembacaan tuntutan, terlebih dengan alasan rentut belum turun dari pimpinan," harap Burhanuddin.


“Saya ingatkan kepada kepala satuan kerja untuk mencermati hal ini, karena penundaan tersebut dapat mengindikasikan adanya potensi perbuatan tercela dan saya tidak segan untuk mengevaluasi jika masih ada Jaksa yang menunda sidang pembacaan tuntutan tanpa ada alasan yang sah,” pintanya.


Menurut Burhanuddin, penggunaan hati nurani dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan telah dituangkan dalam poin 2 perintah harian Jaksa Agung pada peringatan HBA ke-61 yang lalu, dimana sudah secara jelas dikatakan bahwa gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan, dimana arti penting dan tujuannya adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki.


"Restorative Justice lahir, karena saya ingin kehadiran Jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga kemanfaatan hukum.," harapnya.


Olehnya, kata Burhanuddin, penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya.


Lebih jauh Jaksa Agung RI menyampaikan, salah satu contoh penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat adalah kasus yang baru-baru ini terjadi di Kejaksaan Negeri Karawang, dimana tuntutan Jaksa tersebut nampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.


“Saudara sekalian tentunya terkejut dengan langkah ekstrem yang saya lakukan, mulai dari tindakan eksaminasi, mencopot Aspidum, menarik penanganan perkara, dan menuntut bebas. Perlu saudara sekalian ketahui bahwa tindakan itu terpaksa saya ambil, karena Jaksa-Jaksa saya di bawah ternyata tidak profesional dan tidak peka,” tuturnya.


“Kalian harus ingat bahwa atribut kewenangan yang ada pada kalian adalah pendelegasian kewenangan dari saya, yang sewaktu-waktu bisa saya cabut manakala kalian saya nilai tidak cakap dalam mengemban tugas dan kewenangan itu,” lanjutnya.


Semangat dan ruh dari Pedoman No. 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum adalah memberikan kepercayaan penuh kepada Kajari sebagai pengendali perkara, sedangkan Kajati sebagati quality control, dan Kejaksaan Agung sebagai evaluator. Artinya adalah seharusnya penanganan perkara lebih mampu menyerap rasa keadilan di lingkungan masyarakat setempat, karena pengendalian perkara berada di tangan para Jaksa yang ada di lingkungan tersebut.


“Saudara sekalian bercermin dari peristiwa di Karawang, saya minta Kajati dan Kajari dapat mengevaluasi dan memonitor pemahaman dan kepatuhan para Aspidum dan Aspidsus serta Kasi Pidum dan Kasi Pidsus terhadap Pedoman No. 3 Tahun 2019 tersebut,” tandasnya.


Sebagai informasi, Jaksa Agung RI mengingatkan kepada seluruh pejabat di lingkungan Kejaksaan agar betul-betul membaca dan memahami semua peraturan, pedoman, dan edaran Jaksa Agung yang ada, karena kepatuhan insan Ashyaksa terhadap berbagai ketentuan yang dibuat pimpinan merupakan cermin loyalitas terhadap pimpinan. (*)



Previous Post Next Post