Jumat, 4 Juli 2025
Oleh : Putri Novasari
MALILI, HnmIndonesia.com — Pagi itu, langit Malili tampak mendung. Awan kelabu seakan ikut berkabung, menyelimuti suasana haru di rumah duka almarhumah Esther Temban, seorang lansia berusia 86 tahun yang berpulang dalam usia senja, meninggalkan keluarga dan kenangan panjang di lingkungan tempat ia tinggal.
Di antara deretan kursi pelayat yang diatur seadanya, seorang tamu istimewa hadir tanpa pengawalan berlebihan. Ia datang dengan langkah tenang, mengenakan kemeja putih dan celana gelap. Irwan Bachri Syam, Bupati Luwu Timur, datang tidak membawa pidato, tidak pula sambutan formal. Ia datang sebagai manusia yang ingin menguatkan manusia lainnya.
Namun kehadirannya hari itu membawa lebih dari sekadar belasungkawa. Ia datang dengan sebuah pesan: bahwa kehilangan juga bisa menjadi panggilan untuk berbuat lebih, bahwa rumah duka bisa menjadi tempat lahirnya harapan baru bagi mereka yang sering terabaikan—para lansia.
---
Sebuah Kehilangan yang Membuka Mata
Esther Temban bukan tokoh publik. Ia bukan pejabat, bukan pula tokoh organisasi masyarakat. Tapi ia adalah salah satu dari banyak lansia yang hidup dalam keheningan hari tua—seringkali jauh dari sorotan, dan tak jarang, jauh pula dari akses layanan dasar seperti kesehatan dan perlindungan sosial.
Kisah Esther, menurut tetangganya, adalah kisah yang lazim: menua di rumah sederhana, hidup dari bantuan keluarga, dan bergantung pada fasilitas kesehatan seadanya. Dalam sakitnya yang datang bertahap, keluarga hanya bisa berusaha semampunya.
Bagi Bupati Irwan, mendengar cerita itu dari anak dan cucu mendiang menjadi semacam tamparan lembut. Ia mendengarkan, bukan sekadar menyimak. Ia menyadari, bahwa di balik angka statistik tentang program kesehatan dan kesejahteraan sosial, masih banyak lansia seperti Esther yang berada di tepi sistem.
---
Empati yang Menyulut Tanggung Jawab
Dalam percakapan informal bersama keluarga dan warga, Irwan menyampaikan dua program yang kini tengah menjadi prioritas Pemkab Luwu Timur: Kartu Lutim Sehat dan Kartu Lansia. Bukan sekadar program populis, melainkan upaya menyentuh kelompok yang paling rentan secara nyata.
> “Saya tidak ingin warga kita yang sudah sepuh, yang sudah mengabdi bertahun-tahun dalam senyap, masih kesulitan berobat. Kita sudah siapkan layanan berobat gratis, bahkan sampai RS Unhas Makassar. Ini bukan janji politik, ini panggilan kemanusiaan,” ungkap Irwan dengan nada lirih.
Menurutnya, Kartu Lutim Sehat akan mengintegrasikan layanan pengobatan gratis tidak hanya di fasilitas lokal, tapi juga membuka akses rujukan ke rumah sakit besar yang memiliki layanan spesialis. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa layanan kesehatan tidak hanya tersedia, tetapi juga terjangkau dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat—termasuk para lansia.
Sementara itu, Kartu Lansia yang kini dalam tahap finalisasi regulasi, dirancang untuk lebih dari sekadar memberi bantuan dana. Program ini menargetkan hadirnya sistem perlindungan sosial berkelanjutan—mencakup bantuan rutin, kemudahan administrasi, hingga dukungan psikososial.
> “Ini bukan soal uang. Ini soal perhatian. Soal bagaimana negara hadir, bukan hanya saat kampanye atau saat sakit, tapi sepanjang hidup mereka,” tegas Irwan.
---
Kehadiran yang Tak Sekadar Formalitas
Bagi keluarga besar mendiang Esther, kunjungan Bupati bukan hanya bentuk penghormatan. Lebih dari itu, ia menjadi isyarat bahwa suara mereka terdengar, bahwa keberadaan mereka diakui oleh pemimpin daerah. “Kami tidak menyangka Pak Bupati akan datang langsung. Beliau duduk bersama kami, tanpa jarak. Itu sudah lebih dari cukup buat kami,” ujar salah satu cucu mendiang dengan mata berkaca-kaca.
Momen itu menunjukkan sisi lain dari kepemimpinan: bahwa empati bisa lebih kuat dari retorika, dan bahwa kadang, kebijakan terbaik lahir bukan dari ruang rapat, melainkan dari ruang duka.
---
Menuju Layanan Sosial yang Lebih Berpihak
Kunjungan Irwan ke rumah duka bukanlah yang pertama, namun kali ini terasa berbeda. Bukan karena nama almarhumah, tapi karena konteksnya: di saat pemerintah tengah mendorong reformasi layanan sosial dan kesehatan, kisah Esther menjadi semacam cermin yang memantulkan kenyataan di lapangan—dan di situlah komitmen diuji.
Apakah kebijakan akan benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan? Apakah program yang diumumkan akan benar-benar terasa di rumah-rumah seperti milik Esther Temban?
Bupati Irwan mengakhiri kunjungannya dengan doa bersama. Tidak ada pidato panjang. Hanya pelukan kepada keluarga, genggaman tangan kepada warga, dan janji dalam hati bahwa tidak boleh ada lagi lansia yang dibiarkan sendiri di tengah sistem yang besar tapi seringkali tak menyapa.
---
Karena pada akhirnya, kemajuan sebuah daerah tak hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi atau infrastruktur megah. Tapi dari cara daerah itu memperlakukan orang-orang tuanya—mereka yang diam-diam telah meletakkan batu pertama bagi masa depan yang kini kita tempati.