Aspidum Kejati Jabar Dimutasi, Imbas Kasus Valencya Marahi Suami Pemabuk Dituntut 1 Tahun Penjara



Kamis, 28 November 2021 | 12.46 WIB

Oleh: Tim HNM, Benny


Jakarta - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memutasi Asisten Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Dwi Hartanta, sebagai Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung.


Mutasi itu merupakan imbas dari adanya dugaan pelanggaran penanganan perkara kasus Valencya alias Nengsy Lim, istri yang marahi suaminya lantaran pulang dalam keadaan mabuk. Valencya dituntut satu tahun penjara dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).


Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak membenarkan mutasi itu. Ia mengatakan, proses mutasi terhadap Dwi didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-IV-781/C/11/2021 tertanggal 16 November 2021.


"Dwi Hartanta dimutasikan sebagai Jaksa Fungsional pada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung di Jakarta (Anggota Satuan Tugas Khusus Penyusunan Kebijakan Strategis)," kata Leonard melalui keterangan tertulis, yang diterima HNM Indonesia, Kamis (18/11/ 2021).


Selanjutnya, kata Leonard, Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jabar, Riyono, ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Aspidum Kejati Jabar. Jabatan itu akan diisi oleh Riyono sampai adanya pejabat definitif yang diangkat oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.


"Di samping tugasnya sehari-hari sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus pada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat di Bandung sampai dengan adanya pejabat definitif diangkat oleh Jaksa Agung," ujarnya.


Kapuspenkum menyebut, mutasi itu sebagai mutasi diagonal yang dilaksanakan dalam rangka proses pemeriksaan fungsional pada Bidang Pengawasan Kejagung.


"Berdasarkan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Manajemen Karier Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia, disebut bahwa pola karier pegawai dapat dibentuk horizontal, vertikal dan diagonal," tukasnya.


Sebelumnya, Direktorat Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Kejagung telah melakukan eksaminasi khusus terhadap tuntutan 1 tahun penjara itu dengan memeriksa sembilan jaksa dari Kejari Karawang, Kejati Jabar, dan tim jaksa penuntut umum. Hasilnya, proses prapenuntutan sampai penuntutan perkara dinilai tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan.


Diketahui, tuntutan 1 tahun penjara diberikan karena Valencya dinilai sudah melakukan KDRT secara psikis terhadap Chan Yung Ching, suaminya. JPU menilai Valencya telah melanggar Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 5 huruf b UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam persidangan, Valencya menyebut bahwa kemarahannya disebabkan sang suami kerap pulang dalam keadaan mabuk. Selain itu, Chan juga disebut jarang pulang ke rumah. 


Tuntutan itu berpolemik hingga mengakibatkan Jaksa yang bertugas diperiksa oleh Kejagung. Dari hasil penelitian sementara, Kejagung beranggapan bahwa seluruh Jaksa yang terlibat dalam penuntutan itu tidak memiliki kepekaan terhadap krisis.


Menurut Leonard, JPU juga menunda-nunda pembacaan tuntutan sebanyak empat kali dengan sejumlah alasan kepada Majelis Hakim. Misalnya, terkait rencana penuntutan yang diajukan ke Kejati Jabar pada 28 Oktober 2021 namun persetujuan tuntutan baru diterima pada 3 November. Sehingga penundaan terjadi beberapa kali.


Selain itu, kata Leonard, terdapat sejumlah arahan ataupun pedoman pimpinan Korps Adhyaksa yang diabaikan oleh jaksa terlibat. Misalnya yang pertama ialah Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum tertanggal 3 Desember 2019.


"Jaksa juga tidak mempedomani Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak Dalam Perkara Pidana. Serta, Tujuh Perintah Harian Jaksa Agung. Sehingga mengingkari norma atau kaidah, hal ini dapat diartikan tidak melaksanakan perintah pimpinan," jelas Leonard. 



Previous Post Next Post