OPINI: Penerapan Teknologi USG pada Ibu Hamil di Kawasan Pesisir untuk Menekan Angka Kematian Ibu dan Bayi


 

Oleh: Astim


Mahasiswa Prodi Magister Kesehatan Masyarakat

Universitas Mandala Waluya, Kendari


Arah kebijakan universal dari Millennium Development Goals (MDGs) ke Sustainable Development Goals (SDGs) terutama pada bidang kesehatan merupakan isu strategis pembangunan kesehatan saat ini hingga beberapa masa mendatang. Salah satu target MDGs 2015 yang dilanjutkan ke SDGs 2030 adalah terkait kesehatan ibu dan anak. Dalam hal ini, Indonesia belum mampu mencapai target MDGs dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hingga 102 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH). 


AKI Indonesia masih sebesar 305 per 100.000 KH; jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa Negara berkembang lainnya, bahkan tertinggi kedua di ASEAN. Padahal, target SDGs 2030 untuk AKI secara global adalah 70 per 100.000 KH.


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia menargetkan AKI menjadi 183 kematian per 100 ribu kelahiran hidup di tahun 2024. Guna mencapai target tersebut, Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) Bidang Kesehatan tahun 2005-2025 menetapkan arah pembangunan kesehatan yang menekankan pada upaya preventif dan promotif dengan penguatan upaya kesehatan dasar (puskesmas) terutama pada daerah-daerah terbatas dan intervensi berbasis risiko. 


Upaya preventif dengan intervensi berbasis risiko di layanan kesehatan dasar pada ibu hamil salah satunya melalui pemeriksaan ibu hamil yang komprehensif. Standar pemeriksaan ibu hamil telah ditingkatkan mulai dari minimal 4 kali pemeriksaan menjadi 6 kali pemeriksaan. Tambahan 2 kali pemeriksaan dilakukan oleh dokter pada trimester 1 dan trimester 3. 


Pemeriksaan tersebut dilengkapi dengan pemeriksaan USG yang berguna untuk menunjang penilaian klinis yang tepat dan akurat berdasarkan beberapa penilaian kesehatan ibu dan janin. Hal tersebut membantu dalam pengambilan keputusan diagnosis yang tepat untuk mendapatkan penanganan yang cepat sehingga dapat berkontribusi pada penurunan morbiditas dan mortalitas ibu/janin. 



USG dan jenisnya



Ultrasonografi (USG) adalah pemindaian yang menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk mempelajari struktur tubuh bagian dalam. Gelombang suara dipancarkan dari kristal yang bergetar dalam alat pemindai yang dipegang dari luar. Gelombang suara yang dipantulkan atau 'gema' kemudian diterjemahkan menjadi gambar kasar, dua dimensi hingga empat dimensi pada monitor.


Terdapat dua jenis utama USG kehamilan yaitu USG transvaginal dan USG perut. Keduanya menggunakan teknologi yang sama untuk menghasilkan gambar janin. Tenaga kesehatan melakukan USG transvaginal dengan menempatkan perangkat seperti tongkat ke dalam jalan lahir sedangkan USG perut dengan meletakkan alat pemindai di atas kulit perut. 


Pada awal kehamilan, USG transvaginal ini membantu mendeteksi detak jantung janin atau menentukan seberapa jauh usia kehamilan. Gambar dari USG transvaginal lebih jelas pada awal kehamilan dibandingkan dengan USG perut namun hal ini terkadang membuat rasa tidak nyaman pada ibu sehingga USG perut lebih dipilih. 


Berdasarkan jenis dimensinya, USG dibagi menjadi beberapa jenis mulai 2D hingga 4D. Teknologi yang lebih canggih seperti USG 3D atau 4D dapat menghasilkan gambar yang lebih baik. Ini berguna ketika penyedia perlu melihat wajah atau organ bayi dengan lebih detail. Tidak semua penyedia memiliki peralatan ultrasound 3D atau 4D atau pelatihan khusus untuk melakukan ultrasound jenis ini.



Pentingnya USG dalam kehamilan



USG digunakan selama kehamilan untuk memeriksa perkembangan bayi dan untuk membantu menemukan kelainan apapun seperti kelainan janin dan plasenta. Keuntungan dari tes ini adalah non-invasif, tidak menyakitkan, dan aman untuk ibu dan bayi karena tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X, jarum suntik, cairan atau obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuh. Seiring kemajuan ilmu komputer, sehingga fungsi USG bertambah yaitu memiliki kemampuan memunculkan gambar yang sangat halus yang dapat dilihat di layar monitor.


Kapan Melakukan USG?


USG pada kehamilan dilakukan minimal 2 kali yaitu pada trimester 1 dan 2 dengan tujuan:

Trimester pertama - dilakukan dalam 3 bulan pertama kehamilan untuk memeriksa apakah embrio berkembang di dalam rahim (bukan di dalam tuba falopi), memastikan jumlah embrio, dan menghitung usia kehamilan dan bayi serta taksiran persalinan.

Trimester ketiga - dilakukan setelah 30 minggu untuk memeriksa perkembangan struktur janin dan apakah bayi terus tumbuh dengan kecepatan normal sesuai masa kehamilan. Lokasi plasenta diperiksa untuk memastikan tidak menghalangi mulut rahim serta posisi bayi telah normal dengan letak kepala di bawah. 


Kecukupan cairan ketuban juga diperiksa untuk memastikan tidak ada kegawatan pada janin. Jenis kelamin bayi dapat ditentukan, jika orang tua ingin mengetahuinya.


Penggunaan USG di Puskesmas Kawasan Pesisir


Penggunaan metode skreening dengan USG awalnya masih dilakukan di rumah sakit oleh dokter spesialis kebidanan dan kandungan. Namun hal tersebut tentunya menjadi kendala pada daerah-daerah terpencil seperti di daerah pesisir karena akses ke rumah sakit yang tidak dekat dengan kondisi transportasi yang tidak mudah. Belum lagi kondisi ibu hamil yang tidak semuanya baik untuk menempuh perjalanan yang jauh. 


Dengan demikian, pemerintah secara bertahap melakukan pelatihan USG kepada para dokter umum di puskesmas serta melengkapi puskesmas dengan USG. Penggunaan USG merupakan langkah tepat dalam mendukung kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam akselerasi untuk penurunan angka kematian ibu dan kematian bayi. 


Puskesmas sebagai garda terdepan ditunjuk untuk menyediakan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal diharapkan mampu mendekatkan pelayanan hingga ke seluruh lapisan masyarakat terkecil.


Kemenkes secara bertahap akan memenuhi kebutuhan USG di semua Puskesmas di Indonesia. Hingga nantinya akan terpenuhi kebutuhan 10.321 USG di semua puskesmas pada tahun 2024. Hingga akhir tahun 2022, sebanyak 66,7% Puskesmas atau sebanyak 6.886 puskesmas telah tersedia USG dan pelatihan dokter terpenuhi di 42% Puskesmas atau sebanyak 4.392 Puskesmas.



Pemenuhan USG untuk tahun 2023 ditargetkan 1.943 Puskesmas, dan tahun 2024 sebanyak 1.492 Puskesmas. Demikian juga dengan pelatihan dokter yang akan dilanjutkan. Tentunya pemeriksaan USG ini perlu didukung dengan penguatan kolaborasi layanan ANC antara bidan, dokter umum dan dokter spesialis kebidanan serta jejaring PONED dan PONEK.



Upaya pemenuhan USG yang diikuti dengan revitalisasi Puskesmas ini merupakan implementasi dari Pilar Pelayanan Primer pada Transformasi Kesehatan. Kementerian Kesehatan telah menginisiasi Transformasi Kesehatan melalui 6 pilar antara lain Pilar Layanan Primer, Pilar Layanan Rujukan, Pilar Pembiayaan Kesehatan, Pilar Ketahanan Kesehatan, Pilar SDM Kesehatan, dan Pilar Teknologi Kesehatan.


Tantangan Penggunaan USG di Kawasan Pesisir


Polemik Peraturan terkait Penggunaan USG 



Penelitian Nurdahniar (2022) menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara beberapa peraturan pemerintah terkait penggunaan USG. Meskipun perawatan ibu hamil telah menjadi concern pemerintah dalam beberapa peraturan perundangan namun terdapat peraturan yang membatasi penggunaan USG pada profesi tertentu.



Turunan Undang-Undang kesehatan dan peraturan lainnya mempertegas bahwa pelayanan USG ini dapat dilakukan oleh dokter umum dan/atau dokter kebidanan dan kandungan, akan tetapi Permenkes Pelayanan Radiologi Klinik 2020 menyatakan bahwa yang boleh melakukan pelayanan radiologi termasuk USG adalah dokter spesialis radiologi saja. 



Permenkes tersebut terlihat memberikan clinical previlage dan clinical appointment hanya kepada dokter spesialis radiologi dan membatasi kewenangan pada dokter lainnya. Padahal, dokter spesialis radiologi sangat terbatas dan hanya terdapat di rumah sakit, sementara pelayanan USG sangat dibutuhkan hingga pelayanan primer seperti puskesmas.  


Pemerintah tidak seharusnya memberikan kewenangan terbatas terhadap dokter yang memiliki kompetensi melakukan USG mengingat USG sudah menjadi pelayanan kesehatan wajib bagi ibu hamil dan USG yang nyata terbukti menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu. Bahkan dengan penggunaan teknologi USG yang semakin mudah dan tingkat keamanan yang tinggi, World Health Organization (WHO) telah mendorong negara-negara berkembang untuk membekali para bidan desa dengan USG smartphone. 


Sebagai contoh, di Kenya dan Bolivia yang mempunyai banyak wilayah terpencil dan jumlah dokter yang terbatas, para bidan diberikan kewenangan dan difasilitasi dengan USG berukuran smartphone untuk melakukan deteksi dini pada ibu hamil di kawasan terpencil. 


Program tersebut di maksudkan untuk mengenali ibu hamil yang ada kelainan dan berpotensi mengalami kesulitan persalinan, sehingga bisa dipersiapkan untuk melahirkan di rumah sakit dengan pengawasan dokter spesialis kebidanan. Program ini secara nyata telah berhasil menurunkan angka kematian ibu hamil secara bermakna di negara-negara tersebut.


Kendala pada Energi Listrik



Meskipun kementerian kesehatan telah mengupayakan penyediaan USG dengan jenis portable hingga ke pelosok negeri, namun penggunaannya masih terkadang terkendala dengan minimnya energi listrik. Masih banyak daerah-daerah dengan keterbatasan listrik sehingga tidak dapat mengoperasikan USG. 


Daerah terpencil seperti kawasan pesisir umumnya masih memiliki energi listrik yang memadai; listrik hanya dapat disediakan ketika malam hari sementara penyediaan layanan ibu hamil dilakukan pada siang hari. Jikalapun terdapat listrik, dayanyapun terkadang tidak mampu secara optimal untuk mengoperasikan alat USG dengan baik. Akibatnya, alat USG pun dapat dengan mudah rusak karena daya yang kurang stabil. 


Dengan demikian, pemerintah perlu memikirkan penyediaan USG yang diikuti dengan penyediaan listrik yang memadai atau menyediakan USG dengan jenis tertentu yang tidak selalu tergantung pada ketersediaan listrik.



USG yang Cocok untuk Daerah Pesisir



Beberapa model inovatif telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi berbagai kesenjangan dalam akses ke ultrasound. Ketersediaan peralatan ultrasonografi yang ringkas, portabel, dan terhubung secara digital memungkinkan pengenalan model di mana perawat atau bidan terlatih terlibat dalam pemindaian ultrasonografi, sambil didukung dari jarak jauh oleh spesialis di rumah sakit perkotaan.Alat dengan bentuk USG portable (mudah dibawa) bisa menjangkau wilayah remote area, daerah perifer di ujung-ujung perbatasan Indonesia. 


Proses transfer data bisa menggunakan bluetooth dari USG Portable ke telepon genggam. USG portable memungkinkan para dokter maupun bidan mendatangi pasien langsung ke rumah-rumah karena sangat mudah dibawa ke mana pun dan beratnya hanya 2 kilogram. Alat ini juga bisa aktif dengan menggunakan baterai, mengingat di daerah terpencil sering kali belum terdapat listrik. 


Dengan penggunaan alat USG ini diharapkan para ibu hamil sudah bisa dilakukan deteksi awal apabila ada risiko pada proses persalinan atau ada gangguan pertumbuhan pada janin.

Previous Post Next Post